Seribu Tahun Kesunyian

Raicky M Fahlevi
7 min readOct 14, 2019

Seribu tahun kesunyian, sejuta tahun harapan yang mengambang. Aku masih di sini, di pojok kafe depan kampus, di meja nomor delapan tempat kita bercerita menghabiskan secangkir kopi sepanjang malam. Dulu kau begitu setia mendengarkan bait demi bait kata yang ku ucap. Mengamati setiap aksara yang kubunyikan. Walaupun dari wajahmu aku bisa membaca gurat kebingungan yang begitu kental. Sejujurnya aku tidak berharap kau mengerti apa yang aku ucapkan. Aku pun tidak berharap kau memahami dengan cepat konsepsi Materialisme Dialektika Historis yang sering aku jelaskan dalam setiap pertemuan kita atau tentang definisi cinta universal yang tidak akan pernah masuk kedalam kepalamu itu.

Seribu tahun kesunyian menggali kembali ingatanku tentangmu. Tentang pertemuan pertama kita. Pada siang yang mengawang, matahari mengawasi dengan tatapnya yang tajam, dan kampus menjadi penjara yang penuh dengan bara. Mendidihkan setiap cairan di dalam tempurung kepala setiap anak manusia yang berlalu lalang di bawahnya. Kau, siang itu begitu biasa. Dengan celana jeans, kerudung biru dan baju belang-belang yang teramat biasa. Kau tidak menarik seperti wanita lainnya. Entah kenapa aku mendekatimu dan menawari sebuah perkenalan baru. Perkenalan kita pun biasa, tidak ada yang istimewa.

Jika boleh jujur, ada dua hal yang aku suka dari dirimu. Pertama adalah mata, dan yang kedua adalah telinga. Matamu adalah sepasang mata yang meneduhkan. Berwarna putih dengan hiasan coklat di tengahnya. Aku jadi teringat pada segelas coklat panas yang pernah kau buatkan untuk ku ketika kita mendaki salah satu gunung di Jawa Barat. Matamu itu selalu mengintai dalam setiap mimpi-mimpi pada seribu tahun kesunyian yang aku lewati. Dan perihal teliga, bukan telinga bagian dari anatomi. Tetapi yang aku maksud dengan telinga adalah kemampuan mendengarmu yang membuatku terpesona. Caramu mendengarkan setiap hurup yang aku bunyikan telah menjadi modal awal ketertarikanku padamu.

“Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta” bait puisi yang ditulis Soe Hok Gie dalam catatan pribadinya sangat tepat menggambarkan kita berdua. Tetapi kepada kita waktu memberikan kesempatan untuk saling berbicara, untuk saling mengenali satu sama lain, untuk saling bertukar hobi. Dan pada akhirnya waktu mulai menjalankan tugasnya, menanam rasa yang tidak biasa.

Aku ingat, dulu kau tidak pernah suka membaca. Aku membuatmu jatuh cinta pada membaca dengan mengantarku ke acara pameran buku di sebuah kota. Aku membiarkanmu berkeliling sendiri agar mencari buku yang kau sukai. Bukannya mencari buku, kau malah menerima tawaran seorang tua untuk membantu menjaga lapakan bukunya. Aku memperhatikanmu dari jauh dengan segala kelakuan lucu yang kau perbuat. Tingkahmu seperti kanak-kanak ketika meladeni orang-orang yang datang silih berganti untuk membeli dan menawar buku. Aku putuskan mendekat dan ikut serta membantumu. “Aku di depan melayani pembeli dan kamu di belakang mengurusi tulis menulis dan keuangannya” kataku. Kau menatapku dengan senyum terpahat di wajahmu. Dadaku bergetar melihat kau tersenyum dengan bebasnya. Hari-hari berikutnya kita berdua dibuat sangat sibuk, bergantian menjaga lapak buku pak tua. Pak tua hanya sekali-kali datang untuk mengecek stok buku dan membawakan kita makanan. Waktu bergulir mempergantikan siang dan malam, pameran buku telah lewat. Kau dan aku mendapat upah dari pak tua. Upah tidak seberapa tapi kita semakin dekat, semakin mengerti dan semakin memahami.

Seribu tahun kesunyian terlewati begitu saja tanpa suara, tanpa tanya, tanpa kata yang keluar masuk dalam kepala. Semua sunyi. Aku masih di sini, di tempat yang kita sukai. Di pojok kafe dekat jalanan kampus, di meja nomor delapan. Aku sudah melihat banyak kematian yang melintas, banyak tawa yang tersulam, banyak tangis yang mengendap, dan banyak kekecewaan dinyanyikan oleh manusia. Semua itu aku lalui seribu tahun kesunyian tanpa dirimu. Kopi yang pernah aku pesan dulu untukmu kini sudah mengering. Gelasnya retak digilas waktu. Kasih, ah, maaf aku tidak berhak memanggilmu seperti itu. Aku akan memanggil nama lengkapmu saja, bagaimana? Oh, aku hampir lupa kau pun tidak suka jika aku panggil namamu secara paripurna.

Aku ingat malam itu gelap telah bersembunyi di balik rumah-rumah warga. Rembulan mengintip di sela-sela temaramnya lampu jalanan kota. Kau meneleponku, meminta ku untuk menjumpaimu. Kau begitu memaksa dan aku sarankan kita bertemu di tempat biasa kita bertukar cerita. Angin memilin malam. Kita berjumpa di kafe biasa, di meja nomor biasa, tetapi dengan rasa yang tidak biasa. Kau duduk di pojok menunggu kedatanganku dengan gelisah. pengunjung kafe hanya tinggal empat orang ketika aku membuka pintu. Suasana yang menekan kala aku melihatmu duduk di pojok sana. Aku menghampirimu dengan seratus pertanyaan menggantung di langit-langit semesta. Kau menatapku gamang sambil berucap “aku akan pergi, aku tidak tahu kapan akan kembali”, itu ucapmu. Aku berdiri mematung ‘tak ada kata yang mengalir. “Setidaknya biarkan aku duduk dahulu” kataku. Udara membeku begitu saja. Lampu meredup, laron-laron berlarian saling kejar dengan cicak-cicak yang sedang kelaparan. Detik jam ku lihat bergerak begitu lambat, suaranya parau seolah menuntun bunyi trek trek trek pada kematiannya. Nafasku tercekat. Tenggorokanku kering serupa sungai dihantam kemarau panjang.

Kau tentu lupa sejauh angin memanggilku, aku selalu bisa kembali padamu. Dengan utuh atau setengah utuh. Tetapi kau, seribu tahun kesunyian telah aku lewati untuk menunggumu kembali. Kau tahu, kekacauan mengepung kota yang kau tinggalkan ini. Tangan-tangan kering meminta belas kasih. Wanita tua dengan caping di kepala mengepalkan tinjunya kelangit menuntut kepada Tuhan atas perilaku wakilnya di dunia. Kota ini sengsara karena manusia tak lagi menghargai bumi yang menghidupkan mereka. Hutan mereka koyak, sungai mereka cemari, sawah mereka ubah menjadi gedung mewah, inti bumi mereka hisap sampai kerontang, dan sesama manusia pun mereka perbudak kembali. Kesenjangan dimana-mana, merata. Tangisan bayi lapar tidak hanya di desa, di kota pun lebih nyaring suaranya. Bagaimana dengan penguasa kota? Mereka menjadi tuli seketika. Berita kesusahan rakyat ditutupi oleh parody elit-elit kuasa. Kebenaran dibuat bias, isu teralihkan dengan mudahnya. Sampai pada akhirnya para penguasa kota lupa mereka punya rakyat yang harus diurusnya. Mereka terlena oleh kehidupan yang seperti di Nirwana. Mereka juga lupa satu hal, bahwa kekuasaan yang mereka pegang seharusnya dipertanggung jawabkan kepada kita, kepada rakyatnya. Karena tanpa rakyat, penguasa bukanlah apa-apa.

Angin di luar mengetuk-ngetuk daun jendela. Tidak terpikir dalam kepalaku sedikitpun kau akan pergi begitu saja. “Kau akan kembali, bukan? Aku akan menunggumu”, Kataku. Kau tersenyum manis sekali. Ini bukan kali pertama aku melihatmu tersenyum, tapi malam ini senyumanmu terasa janggal. Terasa menakutkan. Ada terror dalam senyummu, dan aku tidak suka. “Boleh aku memelukmu? “ Kau meminta. “Kemarilah” jawabku. Raga kita saling merangkul, tangan kita saling menggenggam harap. Entah mengapa aku merasa begitu dekat denganmu. Bahkan terlalu dekat. Pelukmu begitu erat. Aku bisa mencium aroma wangi parfum yang selama ini terlewati. Malam ini kau benar-benar telah mengisi kekosongan yang telah lama aku abaikan.

Dalam perjalanan seribu tahun kesunyian, aku menyaksikan seorang tukang becak berteriak-teriak tentang hak di alun-alun kota. Besoknya ku jumpai tukang becak kemari telah terbujur kaku menjadi bangkai di perempatan jalan dengan tengkorak kepala hancur. Bisik-bisik angin menelisik membawa kabar pada setiap warung kopi, bahwa ada penguasa yang merasa terganggu oleh teriakan tukang becak tersebut. Memang kekerasan menjadi alat yang ampuh untuk mencipta ketakutan, tapi sayang sangat rapuh dalam menjamin kepercayaan. Kekerasan semakin sering terjadi, perburuan terhadap orang-orang yang bernada sumbang mulai dilakukan. Penguasa kota sedang mencipta api dalam sekam. Sampai akhirnya aku melihat di hati setiap orang lahar sudah meluap, amarah sudah tak lagi terjaga. Revolusi telah terjadi, ratusan ribu jiwa dikorbankan hanya untuk menjadi tumbal dari kekuasaan yang tetap menjadi tirani. Selalu saja ada persembahan darah manusia dalam setiap zaman. Dulu untuk kuasa para dewa, sekarang untuk kuasa para penguasa. Memang kepedulian pada nyawa manusia hanya sebatas kata, habis dalam aksara belasungkawa saja. Aku menyaksikan semua itu sendirian. Di dalam kafe dengan kopi, meja dan buku yang tidak pernah selesai aku bacakan.

Detik bergulir kembali dalam putaran waktu yang menjadi normal. Kau melepas genggam tanganmu dari punggungku. Kedua tanganmu beralih memegang pipi lalu sedetik kemudian mulutmu mencium keningku. Basah, itu yang pertama kurasa, selanjutya dadaku bergejolak ‘tak keruan. Terbesit dalam kepalaku bahwa aku ingin memilikimu. Aku tidak ingin melepasmu. Kau meruntuhkan segala konsepsiku tentang ‘hak milik pribadi adalah pencurian’. Memang aku masih muda, masih buta tentang cara memperlakukan rasa.

Kau mengangkat bibirmu dari keningku dan berucap “Kamu akan baik-baik saja, aku tidak akan pernah melupakanmu”. Sembilu menusuk dada sebelah kiri. Ada rasa sakit yang tidak bisa aku ungkap. Kau berlalu dan meninggalkanku sendirian di pojok kafe itu, di meja itu dengan secangkir kopi yang telah menjadi dingin. Aku melihatmu keluar dari pintu. Air mata meleleh melewati pipimu menuju kegelapan sempurna. Sedetik kemudian lekatnya angin malam meruntuhkan segala harap yang telah aku bangun tanpa sepengetahuanmu.

Seribu tahun kesunyian telah berlalu. Aku tetap menunggumu di kafe ini, di meja nomor delapan dengan kopi yang telah mengering, dengan jaring laba-laba di cangkirku, dengan debu-debu di setiap sisi mejanya dan dengan kerangka-kerangka cicak berserak di setiap lantainya.

Seribu tahun kesunyian telah aku lewati. Aku tidak tahu apakah kau masih hidup atau telah menantiku di alam yang berbeda. Atau mungkin aku akan menanti masa penghabisanku dengan bersajak-sajak sendiri saja. Bersenandung dengan kesuyian. Mencoba berdamai dengan kesendirian ditemani lolong anjing ceking yang kelaparan.

Jadi begini pada akhirnya, kasih.

kau berbalut kebaya berhiaskan tawa, beratap bahagia.

Bertahtakan asmara.

Dan aku di sini menyulam nada dengan dawai lara.

Jadi begini pada akhirnya, kasih.

Kau bertua ria lalu beranak pinak.

Berbagi hati mendua duka.

Dan aku di sini mengejar gelombang pasang tanpa tandang.

Begini pada akhirnya, kasih.

Kau berlari tak beralas kaki di pantai sunyi

Menebar senyum malu penuh bestari.

Dan aku di sini di antara rumput merambat selalu menanti kabar tentangmu.

Jadi begini pada akhirnya, kasih.

Kau bertabur bunga bertebar dalam debu.

Dan aku di sini meranggas seumpama bunga tua menanti musim semi.

Gugur perlahan lenyap kemudian.

15/10/2019 Soekamandi

--

--

Raicky M Fahlevi
Raicky M Fahlevi

Written by Raicky M Fahlevi

Pada akhirnya kita akan kembali ke tempat di mana kita memulai segalanya

No responses yet